Tuesday, September 6, 2011

Kuta Bukan Hanya Bali Punya



Siang semakin terik, perjalanan tetap dilanjutkan. Kali ini tujuannya adalah pantai. Bukan ke Lombok jika tidak menjajal pantai-pantainya yang terkenal indah. Lombok Selatan seringkali dikatakan sebagai surga bagi pecinta pantai. Kuta adalah salah satu pantai yang terkenal keindahannya. Bila mendengar nama Kuta, yang terbayang dalam benak orang adalah pulau Bali. Memang Kuta identik dengan Bali, namun, Lombok pun memiliki pantai Kuta. Keindahan pantainya tak kalah dengan Pantai Kuta di pulau Bali.



Tidak mudah mencapai pantai ini. Memang akses jalan sudah ada. Namun, kontur jalanan di tempat ini naik turun dan berkelok-kelok. Jika dalam benak kita, untuk mencapai pantai, hanya didapatkan jalanan lurus dan mulus, tidak demikian di lombok. Justruk kontur jalannya melewati perbukitan yang terjal dan berkelok. Mungkin ini juga salah satu penyebabnya sampai tidak banyak orang yang datang ke wilayah ini.

Pantai yang dikelilingi perbukitan terjal dan pasir pantai yang putih bersih serta ketenangan menawarkan sebuah tempat yang nyaman untuk beristirahat atau sekadar menyepi. Dari jauh, akan terlihat air laut yang berbatasan dengan bukit serta persatuannya dengan langit. Ditambah denagn pasir pantainya yang putih dan bersih. Hanya satu kata yang mampu diucapkan untuk menggambarkan keindahan pantai di ujung selatan Pulau Lombok ini. “MENAKJUBKAN”.



Di sini, banyak warung-warung yang menjajakan berbagai souvenir khas Lombok seperti mutiara yang entah asli atau tidak dan kain – kain songketnya yang indah. Harga yang ditawarkan di sini, bukan harga mati alias bisa ditawar. Selain itu, di sekitar pantai ini bertebaran juga penginapan-penginapan sekelas hostel yang cukup murah.

Menurut keterangan ibu penjual souvenir, di daerah pantai kuta ini, masih belum ada listrik. Awalnya kami tak percaya bahwa tempat wisata yg terkenal ini belum terjamah oleh listrik. Tapi keterangan ini juga kami dapatkan dari Pak Edy yang siang itu mengantarkan kami berkeliling. Ditambah lagi, jika diamati lebih teliti, tidak terlihat kabel-kabel listrik yang bersliweran di sepanjang jalan. Lalu, darimana penduduk sana dan hostel-hostel mendapatkan listrik?? Bergantung dari diesel terus? Mengapa PLN belum masuk ke daerah yang boleh dibilang bukan daerah terpencil itu?


Pottery Village and Kulit Telur


Pagi pertama di Tanah Mutiara. pulau baru yang menurut orang – orang sangat indah. Meski berdekatan denagn bali, pulau ini bisa dibilang berbeda 180 derajat dengan Bali. Jika di libur hari raya seperti sekarang ini, Bali bisa sangat penuh, sedangkan Lombok… bisa dikatakan cukup lengang. Tak ada tumpukan mobil dan orang di daerah wisata. Bahkan, di daerah pantai senggigi yang notabene cukup terkenal, hanya ada keramaian bisa. Bukan yang berjubel-jubel.  Tempat-tempat makan pun rata-rata tutup.

Sehabis sarapan pagi 2 bungkus indomie goreng, kaki siap melangkah. Menjelajah pulau ini. Minimal ke daerah-daerah yang menurut kata orang patut dikunjungi, wajib bahkan. Jam 9 tepat, rombongan kecil berjumlah 5 orang ini siap berangkat. Tujuan pertama adalah pottery village. Sebuah desa yang menghasilkan barang-barang gerabah. Dalam bayangan… benar-benar semua penduduk satu desa membuat gerabah di rumah masing-masing. Namun ternyata, bayangan itu bubar saat melihat bahwa yang namanya Desa Banyumulek yang terkenal denagn gerabahnya itu.. terdiri dari 1 area luas dengan 2 buah bangunan besar. 1 berfungsi sebagai showroom untuk barang-barang yang dijual. 1 lagi adalah workshop pembuatan barang-barang.

Barang-barang yang mereka hasilkan memang unik dan beraneka ragam. Rata-rata terbuat dari tanah lempung atau tanah liat yang dibentuk, dibakar, dan dicat. Untuk hiasannya mereka menggunakan kulit telur yang dibentuk dan ditambahi hiasan dari cat tembok. Harga barang-barang yang dijual beraneka ragam. Namun, menurutku, cukup mahal. Harga satu buah tatakan gelas bisa mencapai Rp 35.000,- sedangkan gelas kecil diberi harga Rp 50.000,-


Alhasil, di sana, kami hanya melihat-lihat proses pembuatannya tanpa membeli barang satu buahpun. Tadinya kami naksir dengan gelas yang berbentuk teko teh dengan hiasan ukiran. Namun, setelah tahu harganya, kami memutuskan tidak jadi membelinya daripada mubazir tidak terpakai.

Sepertinya harus dipikirkan kembali pengelolaan dan penataan barang-barang hasil gerabah tersebut serta harga-harganya agar tidak hanya turis-turis mancanegara saja yang membelinya, tapi juga turis local.