Tuesday, December 28, 2010

Sawarna

karang terkenal di tanjung layar... :)

Jumat 6 Agustus 2010 pukul 11 malam, Ransel sudah siap, 'peluru' sudah komplit, akomodasi sudah oke. Kini saatnya berangkat meninggalkan Jakarta. Berpetualang dan mencari kesegaran sekaligus menambah teman baru. Sukur-sukur ada yang nemu Jodoh. Ahahahhaha...Mel, Wenti, Evi, Nani, Ollie, Asina, Arjuna, Lucas, Khunkhun, Riki, Riyant, dan Ami adalah pasukan dalam perjalanan ini.

makan mie di pinggir jalan

Jam 11 tepat, kami meninggalkan Jakarta dengan mobil elf sewaan plus sopirnya. Mobil ini kami sewa seharga 1,8 juta selama 3 hari. Harga tersebut belum termasuk bensin. Untuk bensinnya sendiri kurang lebih Rp 300.000,- pulang pergi. Kami mengambil rute Jakarta-Pelabuhan Ratu-Sawarna yang cukup cepat. Hanya sekitar 6 jam perjalanan saja. Sebelum sampai di desa Sawarna, Lebak, Banten, kami sempat mampir di warung pinggir jalan untuk istirahat sejenak dan menghangatkan tubuh dengan semangkuk indomie dan the hangat.

Kurang lebih pukul 6 pagi kami sudah sampai di desa Sawarna dan disambut mas Aji, yang akan memandu kami menyebrangi jembatan gantung yang melewati sungai. Untuk masuk ke desa wisata ini kami dikenakan retribusi Rp 2.000,- perorang.

menikmati es kelapa

Kami langsung menuju Wisma Widi (cp: Bu Ade: 0819 1128 2912). Sampai di rumah yang akan menjadi tempat istirahat kami sampai hari Minggu, sudah terhidang pisang goreng yang masih hangat.. Pisang goreng itu langsung saja diserbu. Hmmm... nikmatnya. Ternyata ibu Ade juga sudah menyiapkan sarapan pagi. Nasi kuning, Telor balado, sambal terasi, tempe goreng, dan kerupuk. Minumannya... kelapa muda yang baru dipetik dari pohon.. Woahhh mengundang selera sekali... apalagi sambalnya... MANTABSSS....

Mas yudha memimpin menyusuri sawah dan bukit... Gak capek mas???

Rute di hari pertama ini, kami akan mengunjungi gua Lalay, gua kelawar. Untuk masuk ke sampai ke gua ini, kami menyusuri sawah, semak, hutan, dan menyeberangi sungai. SSttt.. sungai ini digunakan oleh warga untuk mencuci dan mandi. Airnya jernih dan sejuk. Padahal desa ini sangat dekat dengan pantai selatan. Masuk ke dalam gua, oleh mas Yudha, guide yang juga anak dari pemilik penginapan kami, disarankan untuk melepas sandal dan meninggalkannya di mulut gua. Aman lho. Begitu melepas sandal, kaki ini langsung disambut dengan pasir lembut dan air yang sejuk. Semakin dalam memasuki gua, jalanan semakin licin dan tidak rata karna banyak karang dan gundukan lumpur. Tak jarang kami terpeleset dan jatuh ke lumpur.
di dalam gua lalay

SSTtt... di sana kami benar-benar bisa melihat kelelawar lho... langit-langit guanya tidak rendah dan oksigen masih masuk ke dalam gua sekalipun gua ini berbau tidak sedap karna banyak kotoran kelelawar. Setelah cukup dalam dan dirasa jalan selanjutnya susah untuk dilewati oleh kami – kami yang berbody gede... (heheheh) kami memutuskan untuk keluar dari gua ini. Keluar dari sana, ada petugas yang menarik retribusi,. Tidak mahal, seorang hanya Rp 2.000,- saja.

Dari sana, kami susuri lagi sawah, hutan dan semak, sampai menemukan daerah bukit yang cukup tinggi dan terjal. Lepas dari Bukit yang bernama Cimonyet ini, kami menemukan perkampungan penduduk yang membuat gula kelapa alias gula merah. Kami sempat mampir sebentar untuk sekadar mencicipi dan berbincang. Di belakang perkampungan itu, langsung terhampar air yang biru, pasir yang putih, dan SEPI. Semua langsung berlarian untuk masuk ke dalam air laut. Membersihkan lumpur-lumpur yang melekat di tubuh dan menghapus keringat yang mencucur.

lagoon pari dari atas bukit

Lagoon Pari nama pantai itu. Bersih tanpa ada sampah dan sepi dari pengunjung. Seperti pantai milik kami sendiri, karena memang hanya kami ber 12 saja yang berada di pantai itu. Pantai itu seperti tersembunyi dari dunia luar.

Puas bermain air laut dan berfoto-foto (so pasti donk foto-foto.. :p), kami memutuskan pulang dulu ke penginapan dan makan siang sebelum melanjutkan perjalanan. Ternyata untuk sampai ke rumah, masih harus menguras tenaga... karna jalanan yang menanjak dan matahari yang sangat terik. Ditambah denagn baju yang basah kuyup dan perut yang sudah berdangdut, makin berat lah perjalanan pulang ini. Kurang lebih 1 jam perjalanan kami susuri untuk sampai ke rumah Bu Ade lagi. Di sana kami langsung menyantap makan siang yang sudah disiapkan. Ikan goreng, sambal terasi tak ketinggalan, dan sayuran. Plus kelapa muda. Hahahahah... Tau aja nih kalo kami kehausan.

pantai tapak si kabayan

Jam 2.30 kami memutuskan untuk kembali menjelajah ditemani mas Yudha. Kali ini, kami ke pantai Ciantir yang terletak di belakang penginapan. Lagi-lagi pantai itu bersih dan cukup sepi. Hanya ada beberapa bule yang bersantai. Bule –bule ini menurut Pak Ade bisa menginap di wismanya sampai 2-3 minggu. Biasanya mereka berselancar atau sekadar bersantai. Ombak di pantai daerah ini memang cocok untuk mereka yang menggemari selancar. Mas Yudha sendiri seorang peselancar dan menjadi model dari produk Planet Surf.


Berjalan menyusuri pantai, sampailah kami di icon yang terkenal di daerah ini. Karang setinggi 4 meter yang menyerupai layar Perahu. Yups, kami sudah di Tanjung Lalayar lengkap dengan Karang Layarnya. Hempasan ombak yang memukul karang-karang di sana sangat indah. Puas bermain di karang layar ini, kami melanjutkan perjalanan menyusuri pantai. Dan sampailah di tapak si Kabayan. Awalnya kami bingung, mana yang dinamakan tapak si kabayan. Ternyata, tapak si kabayan itu, karang bebatuan pendek yang bentuknya menyerupai tapak manusia. Oalaahhh... ada-ada saja....

Lanjut lagi... mumpung hari masih terang dan belum sunset..

senja di tanjug layar

kami menuju karang bodas. Karang tinggi yang cukup datar dan bisa untuk bersantai. Kami memutuskan istirahat di sini sambil menunggu waktu sunset. Di sini, kami juga bisa melihat bulu babi yang tersembunyi di sela-sela karang. Saat dirasa sunset hampir tiba, kami memutuskan pulang. Ternyata air laut sudah pulai pasang naik. Karang-karang yang tadinya kami lewati sudah ditutupi air. Pemandangan sunset di daerah ini sangat indah. Pantai yang langsung bersambung dengan tebing tinggi menambah kemistisan daerah ini.

Malamnya, beberapa dari kami, Lucas, Wenti, aku, Juna, Khun, Rikie, dan Ami memutuskan untuk mengikuti saudara Pak Ade untuk mendatangi nelayan yang sedang mencari ikan teri. Letak para nelayan yang dikira dekat ternyata jauh sekali. Belum lagi kami menyusuri pasir pantai yang tebal, hingga menghambat perjalanan. Belum lagi suasana yang sangat gelap. Senter yang dibawa juga tidak terlalu membantu. Ditambah lagi... sorenya kami mendengar kabar ada 3 orang anak kecil yang bermain di pantai belum diketemukan dan di perjalanan kami melihat ada sepatu anak kecil. Membuat makin horor saja perjalanan malam ini. Yang membuat senang adalah hamparan bintang di langit yang sangat banyak dan indah. Di Jakarta, kami susah menemukan bintang-bintang yang berkeliaran di langit seperti di sana. Sampai di tempat nelayan tersebut, ternyata mereka tidak mendapat ikan. Sedang menunggu menurut mereka. Sia-sia deh perjalanan malam ini....

Akhirnya kami pulang dan tidur. Esoknya, kami ketinggalan sunrise. OMG... saking capek dan ngantuknya setelah sehari sebelumnya dihajar untuk jalan kaki cukup jauh... kami ketinggalan sunrise dan baru bangun pukul 7 pagi. Akhirnya untuk hari terakhir itu, kami memutuskan ke gua langir.

gua langir

Gua pasir putih, yang ternyata tidak bisa dimasuki karna stalagmitnya patah dan menutup pintu gua. Sepanjang perjalanan, sejauh mata memandang, yang ada hanya pantai, pohon kelapa dan pasir. Sangat indah dan memanjakan mata. Karna sepi, berteriak di sini pun tak akan mengganggu orang. Ehhehehe... Meski tak bisa memasuki gua itu, kami cukup puas berpose di mulut gua yang tersembunyi di balik semak-semak belukar. Pemandangannya itu lho.. susah didapatkan di tempat lain. Kalau kata orang, masih perawan bokh.. heheheh...

pantai ciantir

Siang, saat pulang, kami mampir di daerah pelabuhan ratu untuk santap siang yang terlambat. Menu seafood menjadi incaran kami. Lesehan di pinggir pantai sambil santap seafood. Wow... jadi tak ingin pulang. Hehehehe... ternyata perjalanan pulang ini, tak selancar saat berangkat karena banyak kemacetan. Kami baru sampai jakarta pukul 12 malam. Padahal sudah berangkat pulang dari pukul 2 siang.

Di luar jam pulang yang tak sesuai ekspektasi kita, trip ini sangat dan amat mengasyikkan dan memuaskan. Hanya dengan Rp 350.000, - kami mendapat banyak pengalaman. Sttt... biaya segitu sudah termasuk bonus makan seafood di pelabuhan Ratu yang menghabiskan Rp 500.000,- lho. Untuk di Sawarnanya sendiri, Rp 1.000.000,- sudah termasuk makan 4 kali, kelapa muda tak terhitung jumlahnya, snack, minuman, dan penginapan untuk 12 orang. Sedangkan untuk guide, kami memberi tip Rp 100.000,- Murah sekali kan biaya perjalanan ini. Padahal pengalaman yang kami dapat sangat-sangat Wah... heheheh...Sawarna benar-benar menyimpan banyak pesonanya...

See you on next trip....

No comments:

Post a Comment